BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu faktor pencetus
serangan asma adalah kondisi psikologis klien yang tidak stabil termasuk di
dalamnya cemas. Hal ini sering diabaikan oleh klien sehingga frekwensi
kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada keadaan yang lebih buruk.
Kondisi ini merupakan suatu rantai yang sulit ditentukan mana yang menjadi
penyebab dan mana yang merupakan akibat. Keadaan cemas menyebabkan atau
memperburuk serangan, serangan asthma dapat menyebabkan kecemasan besar pada klien
asthma padahal kecemasan justru memperburuk keadaan (Cris Sinclair, 1990 :
106). Kondisi sesak dapat menimbulkan kecemasan karena klien merasa adanya
ancaman kematian (Barbara C. Long, 1996 : 512).
Menurunkan tingkat kecemasan pada
klien asma baik pada saat serangan ataupun saat tidak terjadi serangan sangat
penting. Sebab seperti yang telah dijelaskan di atas maka lingkaran mengenai
penyebab dan akibat cemas harus diputus. Dengan demikian berarti memutus salah
satu faktor pencetus asthma dan memutus keadaan cemas yang disebabkan oleh asthma. Sehingga dapat
memperpendek masa serangan dan memperkecil frekwensi kekambuhan.
Di Inggris sekitar 2,5 juta
penderita asthma bronkiale yang perlu pengobatan dan pengawasan rutin, 10%
anak-anak dan 7% dewasa (Crockett A, 1997). Di Amerika serikat diperkirakan 9,5
juta penduduk menderita asma. Di Jerman 9 juta penduduk.Cemas yang berhubungan
dengan sulit bernafas dilaporkan sebagai diagnosa yang sering di tangani (50% -
74%) (Carpenito, 2000 : 128). Ini merupakan angka yang cukup besar yang perlu
mendapat perhatian dari perawat di dalam merawat klien asma secara komprehensif
bio psiko sosial dan spiritual. Di Jawa Timur menurut penelitian Amin Muhammad
(2000) dilaporkan terdapat 13,5% dari 6144 responden menunjukkan gejala asma.
Stress merupakan pencetus
perubahan pada paru yang memungkinkan terjadinya asma. Kecemasan yang
berlanghsung terus menerus tanpa adanya suatu tindakan akan mengakibatkan
peningkatan kecemasan ke level yang lebih parah dan meningkatkan resiko cedera,
fungsi fisiologi abnormal (Carol Taylor, 1997 : 783). Respon yang ditimbulkan
oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh syaraf otonom (simpatis dan
parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan pelepasan epineprin, adanya
peningkatan epineprin mengakibatkan denyut jantung cepat, pernafasan cepat dan
dangkal, tekanan pada arteri meningkat. Kecemasan juga berdampak negatif pada
fisiologi tubuh manusia antara lain dampak pada kardiovaskuler, sistem
respirasi, gastro intestinal, neuromuscular, traktus urinarius, kulit, dampak
pada perilaku, kognitif dan afektif. Dampak yang paling memperberat asma adalah
dampak terhadap sistem respirasi dan kardiovaskuler yang dapat menyebabkan
kesulitan bernafas, nafas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada dan peningkatan
tekanan darah (Stuart dan Sundeen, 1995 : 331).
Dampak lain yang lain tak kalah
pentingnya adalah penurunan sistem imun dan respon inflamasi. Di mana kecemasan
akan menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah putih yang
lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan proses inflamasi di
bronkus sehingga keadaan asma akan berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi
lebih sering karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap
proses inflamasi.
Mengingat untuk mencapai sehat
secara dinamis bagi penderita asma bronkiale perlu peningkatan respon imun maka
upaya peningkatan respon ketahanan tubuh pada penderita tersebut sangat
diperlukan. Oleh karena itu selain indikator peningkatan ventilasi paru-paru
guna menjaga homeostasis perlu adanya indikator tambahan yaitu sistem
ilmunologik. Telah diketahui bahwa proses pembentukan pola respon ketahanan
tubuh pada penderita asma bronkiale, tidak terjadi sebagai akibat imunogen
tetapi juga dapat terjadi melalui mediator kimia terkait. Mediator tersebut
berupa sitokin (Baratawidjaja, 1996). Atas dasar peran mediator sitokin dalam
respon ketahanan tubuh tersebut, maka pendekatan penelitian ini menggunakan
konsep psikoneuroimunologik (Ader, 1991 : Setyawan, 1996). Indikator ketahanan
tubuh yang berkonsep Psikoneuroimunologi akan digunakan untuk pedoman
penelitian dengan relaksasi latihan pernafasan
Salah satu upaya menurunkan
tingkat kecemasan pada klien asma adalah dengan latihan relaksasi pernafasan.
Teknik relaksasi ini telah diketahui efektif menurunkan kecemasan untuk
perawatan dan pencegahan gangguan pernafasan, hiperventilasi, nafas pendek
(Martha Davis, 1995 : 28). Karena menurunkan ketegangan dan perubahan kesadaran
(Stuart dan Sundeen : 347). Latihan relaksasi yang terprogram setiap hari
memberi efek pada respon psikologis terhadap stress dan juga akan tertolong
jika kecemasan muncul kembali (Barbara C. Long, 1996 : 144).
Dari uraian di atas, maka perlu
dilakukan penelitian guna mengetahui seberapa jauh mana efektifitas relaksasi pernafasan terhadap penurunan
tingkat kecemasan pada klien asma sehingga hasil penelitian ini dapat memberi
masukan kepada sejawat perawat khususnya dalam memberi asuhan keperawatan pada
klien asma yang rentan sekali terhadap stress.
1.2
Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar
belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
(1) Apakah
relaksasi pernafasan dapat menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma ?
(2) Apakah
relaksasi pernafasan dapat memperpendek masa serangan asma?
(3) Apakah
relaksasi pernafasan dapat memperkecil frekwensi kekambuhan asma ?
1.3
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian meliputi :
1 Tujuan Umum
Mempelajari
pengaruh relaksasi pernafasan terhadap penurunan tingkatkecemasan pada klien
asma.
2 Tujuan Khusus
(1)
Mempelajari efektifitas relaksasi pernafasan terhadap
lamanya masa serangan.
(2)
Mempelajari efektifitas relaksasi pernafasan terhadap
penurunan frekwensi kekambuhan.
1.4
Manfaat
(1) Hasil
penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang efektifitas relaksasi
pernafasan terhadap penurunan kecemasan pada klien asma.
(2) Hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya
mengurangi kecemasan pada klien asma.
(3) Hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian
lebih lanjut.
(4) Memberi
masukan kepada sejawat perawat tentang pentingnya menangani cemas pada klien
asma sehingga klien bisa mendapatkan perawatan yang komprehensip.
1.5
Relevansi
Perawatan psikologis klien asma
merupakan hal yang sangat penting, baik pada saat serangan ataupun tidak dalam
serangan. Perawat dan klien harus berusaha bersama-sama mempertahankan kondisi
psikologis klien dalam keadaan stabil sehingga klien tidak jatuh dalam keadaan
distress (cemas), karena hal ini akan memperburuk kondisi klien. Pada saat
serangan asma terjadi dan masa-masa kritis setelah serangan klien akan berada
dalam kondisi kecemasan yang berat. Kondisi demikian harus segera mendapatkan
perawatan yang baik untuk meminimalkan kecemasan. Salah satu upaya untuk
menurunkan tingkat kecemasan pada klien asthma adalah dengan relaksasi
pernafasan. Manfaat relaksasi pernafasan diantaranya adalah menurunkan
ketegangan, mencegah gangguan pernafasan, klien akan merasa lebih nyaman
sehingga akan mempercepat kesembuhan klien. Pentingnya pengelolaan cemas dengan
relaksasi pernafasan ini akan menggugah dunia keperawatan untuk lebih
memperhatikan betapa pentingnya kondisi psikologis klien yang sangnat besar
pengaruhnya terhadap proses kesembuhan dan frekwensi kekambuhan. Dengan
demikian dapat lebih meningkatkan pelayanan keperawatan secara komprehensif
khususnya pada klien asma.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
.Pada bab ini akan disajikan
tentang konsep dasar asma, cemas dan relaksasi pernafasan. Konsep dasar asma
meliputi pengertian asma, tipe asma, faktor -faktor pencetus serangan asma
serta dampak-dampak yang ditimbulkan oleh asma.
Kedua tentang konsep dasar cemas
meliputi pengertian cemas, tingkatan cemas, faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan dan mekanisme timbulnya asma yang diakibatkan oleh kecemasan.
konsep dasar relaksasi pernafasan
meliputi pengertian relaksasi pernafasan, alasan, Ketiga tentang manfaat,
metode / cara relaksasi pernafasan dan kerugian bila tidak melakukan relaksasi
pernafasan pada klien asma.
2.1 Konsep
Dasar Asma
2.1.1 Pengertian
Asma adalah suatu penyakit dengan
ciri meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan
dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman,
1990 dikutip dari The American Thoracic Society, 1962).
Menurut Sylvia Anderson (1995 :
149) asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus
yang reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap
berbagai rangsang.
Asma adalah
suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast,
sel netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas
kumat-kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau
tanpa pengobatan (Cris Sinclair, 1990 : 94)
Samsuridjal dan Bharata Widjaja
(1994) menjelaskan asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran
nafas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkus. Sifat peradangan pada asma
khas yaitu tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infliltrasi sel
eosinofil.
Asma merupakan suatu keadaan
gangguan / kerusakan bronkus yang ditandai dengan spasme bronkus yang
reversibel (spasme dan kontriksi yang lama pada jalan nafas) (Joyce M. Black,
1996 : 504).
Menurut Crocket (1997) asthma
bronkiale didefinisikan sebagai penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi
peradangan dari jalan nafas dengan gejala bronkospasme yang reversibel.
2.1.2 Klasifikasi Asma Berdasarkan Etiologi
(1) Asma
Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik)
Asma timbul
karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh
melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan
ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC).
Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen
dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1)
mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang
diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel
plasthma dan membentuk IgE.
IgE yang
terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil
yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut
pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan
trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah.
Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada
permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap
desentisisasi atau baru menjadi rentan
Bila orang
yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama,
alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan
mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel
dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP
yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel
ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam
granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik,
yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic
Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator
tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktifitas
bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar
dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak
menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap
rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun
yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus
disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama
eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien asthma
bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas berhubungan
dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat
dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap secara klinik
sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai
suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan
saluran nafas.
Bronkus pada
pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama
eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus
di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak
berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asthma bronkiale adanya penyumbatan
saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus
.
Akibat dari
bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka
terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa
sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif.
Adanya
stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress
yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno
corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan
kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA
menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh
sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale.
(2) Asma
Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik)
Asma non
alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi
terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas,
olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress
psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama
gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas
adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan
daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik
alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan
sesak nafas.
Reseptor
adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel
yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messengner kedua. Bila
reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan
mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan
menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator
dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade
reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan
akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal
dengan teori blokade adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990).
(3) Asma
Bronkiale Campuran (Mixed)
Pada tipe ini
keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik.
2.1.3
Faktor Pencetus Serangan Asthma Bronkiale
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asthma
bronkiale atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah :
(1)
Alergen
Alergen adalah
sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan serangan asthma,
misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus) spora
jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan
sebagainya.
(2) Infeksi
saluran nafas
Infeksi
saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu faktor
pencetus yang paling sering menimbulkan asthma bronkiale. Diperkirakan dua
pertiga penderita asthma dewasa serangan asthmanya ditimbulkan oleh infeksi
saluran nafas (Sundaru, 1991).
(3) Tekanan jiwa
Tekanan jiwa
bukan sebagai penyebab asthma tetapi sebagai pencetus asthma, karena banyak
orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita asthma
bronkiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asthma terutama pada orang
yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan
anak-anak (Yunus, 1994).
(4) Olah raga /
kegiatan jasmani yang berat
Sebagian
penderita asthma bronkiale akan mendapatkan serangan asthma bila melakukan olah
raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling
mudah menimbulkan serangan asthma. Serangan asthma karena kegiatan jasmani (Exercise induced asthma /EIA) terjadi
setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan
timbul beberapa jam setelah olah raga.
(5) Obat-obatan
Beberapa
pasien asthma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti
penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
(6) Polusi udara
Pasien
asthma sangat peka terhadap udara
berdebu, asap pabrik / kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil
pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam.
(7) Lingkungan kerja
Diperkirakan 2
– 15% pasien asthma bronkiale pencetusnya adalah lingkunagn kerja (Sundaru,
1991).
2.1.4
Dampak yang Ditimbulkan Oleh Asthma Bronkiale
Dampak yang ditimbulkan oleh asma
Bronkhiale adalah :
(1)
Fisik
(2)
Sistem Pernafasan
Sistem
pernafasan berupa :
a.
Peningkatan frekuensi pernafasan, susah bernafas,
perpendekan periode inspirasi, pemanjangan ekspirasi
b. Penggunaan
otot-otot aksesori pernafasan (retraksi sternum, pengangkatan bahu waktu
bernafas).
c.
Pernafasan cuping hidung.
d.
Adanya mengi yang terdengar tanpa stetoskop.
e.
Batuk keras, kering dan akhirnya batuk produktif.
f.
Faal paru terdapat penurunan FEV1.
(3)
Sistem Kardiovaskuler
a. Takikardia
b.Tensi
meningkat
c. Pulsus paradoksus
(penurunan tekanan darah) 10 mmHg pada waktu inspirasi).
d. Sianosis
e. Diaforesis
f. Dehidrasi
(4) Psikologis
- Peningkatan ansietas (kecemasan) : takut mati, takut menderita, panik, gelisah.
- Ekspresi marah, sedih, tidak percaya dengan orang lain, tidak perhatian.
c.
Ekspresi tidak punya harapan, helplessness.
(5) Sosial
a.
Ketakutan berinteraksi dengan orang lain.
b.
Gangguan berkomunikasi
c.
Inappropiate dress
d.
Hostility toward others
(6) Hematologi
a.
Eosinofil meningkat > 250 / mm3
b.
Penurunan limfosit dan komponen sel darah putih yang
lain.
c. Penurunan Immunoglobulin A
(IgA)
2.2 Konsep
Dasar Cemas
2.2.1 Pengertian
Cemas adalah keadaan di mana
seseorang mengalami perasaan gelisah atau cemas dan aktivitas saraf otonom
dalam berespon terhadap ancaman tak jelas, tak spesifik (carpenito, 2000 : 132)
Cemas didefinisikan sebagai suatu
energi yang tidak dapat diukur, namun dapat dilihat secara tidak langsung
melalui tindakan individu tersebut (Stuart dan Sundeen, 1995 : 328).
Menurut Barbara C. Long 91996)
cemas merupakan suatu respon psikologis dan fisiologis, perasaan takut / tidak
tenang yang sumbernya tidak diketahui.
Cemas adalah ketidakjelasan
perasaan sulit yang sumbernya seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui
oleh individu (Carpenito, 2000 dikutip dari NANDA 1994).
Cemas merupakan dasar reaksi
terhadap stress dan keadaan mental yang sulit, ketakutan, firasat / perasaan
tidak ada bantuan (Kozier, et.al, 1997 : 833).
2.1.2 Tingkatan
Cemas dan Karakteristiknya
Menurut
Stuart dan Sundeen cemas terdiri dari empat tingkatan yaitu :
(1) Kecemasan
ringan ditandai dengan
Waspada,
ketajaman pendengaran bertambah, kesadaran meningkat, (terangsang untuk
melakukan tindakan, termotivasi secara positif, sedikit mengalami peningkatan
tanda-tanda vital), mampu menghadapi situasi yang bermasalah, dapat menvalidasi
secara konsensual, ingin tahu, mengulang pertanyaan, kurang tidur.
(2) Kecemasan
sedang ditandai dengan
Individu
berfokus pada dirinya (penyakitnya), menurunnya perhatian terhadap lingkungan,
persepsi menyempit, cukup kesulitan berkonsentrasi, membutuhkan usaha yang
lebih, kesulitan beradaptasi dan menganalisa perubahan suara / nada, pernafasan
dan denyut nadi meningkat, tremor, bergetar.
(3) Kecemasan
berat ditandai dengan :
Perubahan
pola pikir, ketidakselarasan pikiran, tindakan dan perasaan, lapangan persepsi
sangat menurun, fokus pada masalah detil, tidak memperhatikan instruksi, sangat
kebingungan, tidak mampu berkonsentrasi, tidak mampu mengerti terhadap situasi
yang dihadapi saat ini, penurunan fungsi, kesulitan untuk mengertu dalam
berkomunikasi, hiperventilasi, takikardi, mual, pusing.
(4)
Panik ditandai dengan :
Persepsi
terhadap lingkunngan mengalami distoris, ketidakmampuan memahami situasi,
respon tidak dapat diduga dan aktivitas motorik yang tidak menentu, tidak mampu
belajar, penyimpangan persepsi, tidak mampu belajar, tidak mampu
mengintegrasikan pengalaman, tidak dapat berfokus pada saat ini, tidak mampu
melihat dan mengerti situasi, kehilangan untuk mengungkapkan apa yang
dipikirkan, tidak dapat berfungsi, peningkatan motorik dan respon terhadap
stimulus minor, komunikasi tidak dapat dipahami, dispnea, gemetar, palpitasi,
parestesia, tersedak, berkeringat.
2.1.3 Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kecemasan
Menurut Carpenito (2000 : 128)
fktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah :
(1) Situasi
(personal, lingkungan)
Berhubungan
dengan nyata / merasa terganggu pada integritas biologis sekunder terhadap
serangan, prosedur invasif dan penyakit. Adanya perubahan nyata / merasakan
adanya perubahan lingkungan sekunder terhadap perawatan di rumah sakit.
(2) Maturasional
Tingkat
maturasi individu akan mempengaruhi tingkat kecemasan. Pada bayi kecemasan
lebih disebabkan karena perpisahan, lingkungan atau orang yang tidak di kenal
dan perubahan hubungan dalam kelompok sebaya. Kecemasan pada remaja mayoritas
disebabkan oleh perkembangan seksual. Pada dewasa berhubungan dengan ancaman
konsep diri, sedangkan pada lansia kecemasan berhubungan dengan kehilangan
fungsi.
(3) Tingkat
pendidikan
Individu yang
berpendidikan tinggi akan mempunyai koping yang lebih baik dari pada yang
berpendidikan rendah sehingga dapat mengeliminir kecemasan yang terjadi.
(4)
Karakteristik stimulus
- Intensitas stressor.
- Lama stressor.
- Jumlah stressor
(5)
Karakteristik individu
a. Makna
stressor bagi individu
b. Sumber
yang dapat dimanfaatkan dan respon koping
c. Status
kesehatan individu
2.1.3
Timbulnya Cemas pada Asthma
(1)
Sesak nafas (kesulitan bernafas) mengakibatkan klien
takut akan ancaman kematian, ketakutan ini akan menimbulkan keadaan cemas yang
berat (Barbara C. Long, 1996 : 613).
(2)
Penurunan oksigen dalam darah akan menurunkan supply
oksigen ke otak. Penurunan oksigen ke otak menyebabkan perubahan kesadaran dan
memperbesar kemungkinan terjadinya cemas yang sering membuat situasi stress
lebih sulit diatasi (Martha Davis, 1995
: 28)
2.1.4
Dampak yang Ditimbulkan oleh Kecemasan
Dampak yang ditimbulkan
oleh kecemasan adalah sebagai berikut :
(1)
Fisiologis
a. Cardiovaskuler
Palpitasi,
peningkatan tekanan darah, penurunan tekanan darah dan penurunan denyut nadi,
denyut jantung cepat, pingsan.
b. Respirasi
Nafas cepat dan
pernafasan berat, dada tertekan, kesulitan bernafas, hiperventilasi, pernafasan
dangkal, kerongkongan bengkok.
c.
Gastro intestinal
Mual,
muntah, diare, perut terasa tidak enak dan nyeri, kehilangan nafsu makan,
panas.
d.
Neuro muskular
Peningkatan
reflek, insomnia, tremor, reaksi terkejut, kejang, gelisah, muka tampak tegang,
kelemahan seluruh tubuh, pergerakan yang kaku.
e.
Kulit
Pucat,
panas, dingin
f.
Traktus urinarius
Rasa
tertekan pada kandung kemih.
(2)
Behavior
Ketegangan
fisik, gangguan istirahat, tremor, berbicara cepat, kurang koordinasi, hiper
reaktif, perilaku menghindar
(3)
Kognitif
Tidak
perhatian, kurang konsentrasi, penurunan kreatifitas, pelupa, kurang objektif,
kehilangan kontrol, takut cedera atau mati.
(4)
Afektif
Tegang, takut, nervous.
2.3
Konsep Dasar
Latihan Relaksasi Pernafasan
2.3.1 Pengertian
Latihan
relaksasi dikembangkan dari konsep bahwa stress dengan kecemasan tidak terjadi
bila otot-otot tubuh relaksasi. Relaksasi bukan pengobatan melainkan dapat
membantu meminimalkan dampak stress dan memberi klien perasaan terkontrol
(Barbara C. Long, 1996 : 144).
Relaksasi
merupakan teknik untuk menurunkan ketegangan otot dan menurunkan kecemasan
(Carol Taylor, 1997 : 349).
Relaskasi
pernafasan adalah teknik relaksasi yang menurunkan ketegangan otot dengan cara
latihan pernafasan yang benar dan teratur (Stuart dan Sundeen, 1995 : 348).
2.3.2 Alasan Relaksasi
Pernafasan
Otak mempunyai
reseptor spesifik terhadap Benzodia zeping, dan reseptor ini berpeluang
membantu untuk meregulasi cemas. Reseptor Benzodia akan membuat suatu substansi
di otak yang nantinya akan mengikat Benzodiazepin tersebut. Inhibitor
aminobutyric acid (GABA) yang ditingkatkan oleh Benzodiazepin juga mempunyai
peranan besar di dalam regulasi cemas seperti Endorphin.
Pernafasan
penting untuk kehidupan, pernafasan yang tepat merupakan penawar stress. Pada
saat menarik nafas, udara di hirup ke dalam melalui hidung dan dihangatkan
selaput lendir rongga hidung. Jika jumlah udara segar yang masuk paru-paru
tidak mencukupi, darah tidak dibersihkan / dioksigenasi sebagaimana mestinya. Hasil
pembakaran (buangan) yang seharusnya di buang tetap ada dalam sirkulasi darah
dan perlahan-lahan meracuni sistem tubuh. Jika darah kekurangan oksigen, darah
akan berwarna kebiru-biruan dan hitam, serta dapat dilihat melalui warna kulit
yang kebiruan, pencernaan terhambat, organ dan jaringan menjadi kurang makanan.
Kurangnya oksigen dalam darah memperbesar kemungkinan terjadinnya cemas,
depresi dan lelah yang sering membuat setiap situasi stress menjadi lebih sulit
diatasi. Kebiasaan bernafas yang tepat penting untuk kesehatan mental dan fisik
(Martha Davis, 1995 : 28)
Bernafas adalah
satu-satunya fungsi otomatis yang dapat dikendalikan. Sebagian melalui sistem
saraf otonom dan sebagian melalui susunan saraf pusat. Sistem saraf otonom
mengendalikan fungsi vital, sekresi endokrin (hormon) dan emosi. Dengan
mengendalikan pernafasan, seseorang dapat mempengaruhi semua fungsi tubuh,
untuk jangka waktu singkat dapat mengambil alaih fungsi-fungsi ….. secara sadar
(Leon Chaitow, 1993 : 57).
Secara
fisiologis latihan pernafasan akan menurunkan denyut jantung, mengurangi
aktivitas saraf simpatis, mengistirahatkan otot yang tegang dan memberi
kesempatan terjadinya keseimbangan, memberi kesempatan fungsi saraf
parasimpatis untuk berfungsi menenangkan pikiran. Metode relaksasi di atas
sangat ideal bagi klien asma bila mereka tidak dalam serangan. Bila sudah
mahir, latihan pernafasan dapat digunakan selama serangan (Leon Chaitow, 1993 :
57).
Tugas utama
sistem saraf simpatis adalah membantu memberi respon terhadap ancaman dan
stress oleh sarana yang disebut Flight or Fight. Di antara sejumlah fungsi
lainnya, sistem saraf simpatis dianggap sebagai penyebab melebarnya saluran
pernafasan melalui zat kimia yang beredar atau hormon seperti adrenalin. Hal
ini mempermudah pernafasan dan memungkinkan lebih banyak udara masuk ke
paru-paru …… lebih bagus. Tetapi tidak selalu saluran pernafasan peka terhadap
instruksi yang datang dari sistem saraf simpatis untuk melebar, akibatnya
saluran pernafasan menjadi lebih sempit daripada seharusnya. (Chris Sinclair
dan Arcan, 1990 : 105).
Hasil penelitian
membuktikan serangan pada asma intrinsik dipicu oleh faktor-faktor yang tidak
khas, dan diduga bahwa faktor ini bergerak melalui sebagian parasimpatis dari
sistem saraf otonom.
Latihan pernafasan
dapat berpengaruh terhadap elemen dari sistem imun, latihan ini akan
meningkatkan plasma Benndorphins, katekolamin dan glukokortikoid. Katekolamin
dan Bendorrphins berinteraksi dengan Hypothalamio – pituitary adrenal axis (HPA
Axis) untuk merubah faktor-faktor yang memberi kontribusi pada hypothalamus.
Latihan pernafasan menyebabkan perubahan pada Monoamine dan Neuropeptida lain,
endorphins dan Kortikosteroid yang berpengaruh langsung terhadap fungsi imun
manusia.
2.3.3
Manfaat Relaksasi Pernafasan (Peter E Makin, 1994 : 75)
(1) Jika
tidak dalam serangan latihan pernafasan diperlukan untuk mencegah sesak nafas.
(2) Memperbaiki
fungsi paru-paru sehingga dengan demikian serangan sesak nafas tidak terjadi.
(3) Menurunkan
ketegangan otot.
(4) Menenangkan
pikiran dan mengurangi kecemasan.
(5) Menetralkan
efek-efek respon stress.
(6) Membuat
perasaan tenteram.
(7) Detak
jantung teratur dan pernafasan menjadi lebih tenang.
(8) Memperbaiki
oksigenasi darah.
(9) Memperbaiki
kesehatan mental dan fisik.
(10) Memperbaiki
keseimbangan
(11) Memperbaiki
sistem imun
(12) Memperbaiki
mood, fungsi sexual dan harga diri.
2.3.4
Kerugian bila tidak melakukan relaksasi pernafasan
(1)
Kecemasan akibat asthma akan berlangsung lama.
(2)
Frekwensi kekambuhan menjadi lebih sering.
(3)
Serangan asthma berlangsung lebih lama.
2.3.5
Teknik / Cara Relaksasi Pernafasan
(1) Rebahkan
diri di atas permadani atau tikar di lantai dengan sikap “orang mati” kaki
lurus, sedikit renggang, telapak kaki mengarah ke luar dengan nyaman; kedua
tangan di sisi tubuh, tidak menyentuh tubuh, telapak tangan mengarah ke atas,
dan mata anda dipejamkan.
(2) Arahkan
perhatian pada pernafasan anda, tempatkan tangan anda pada bagian yang paling
terasa naik dan turun pada saat anda menarik nafas dan menghembuskan nafas.
Perhatikan, jika bagian ini pada dada, maka anda tidak menggunakan bagian bawah
dada dengan baik. Orang yang gugup cenderung sering bernafas sangat pendek,
bernafas dangkal pada dada bagian atas.
(3) Letakkan
kedua tangan anda dengan lembut di atas perut dan ikuti pernafasan anda.
Perhatikan bagaimana perut anda naik pada tiap tarikan nafas dan turun tiap
hembusan nafas.
(4) Paling
baik jika anda bernafas melalui hidung. Jika mungkin, bersihkan rongga hidung
anda sebelum melakukan latihan pernafasan.
(5) Apakah
data dan perut anda bergerak secara harmonis, atau kaku ? Sediakan satu atau
dua menit untuk membiarkan dada mengikuti gerakan perut anda.
(6) Amati
tubuh anda yang tegang, khususnya tenggorokan, dada dan perut.
(7) Letakkan
satu tangan di atas perut dan satu tangan di atas dada.
(8) Tarik
nafas pelan-pelan dan dalam melalui hidung masuk ke dalam perut mendorong
tangan anda sekuat-kuatnya selama anda merasa nyaman. Dada anda harus hanya
sedikit bergerak dan bersamaan dengan pergerakan perut.
(9) Jika
anda merasa mudah dengan langkah ke-4, tersenyum sedikit, tarik nafas melalui
hidung dan hembuskan melalui mulut, cipyakan ketenangan, relaks, desingkan
udara seperti angin seraya anda meniupkan udara dengan lembut ke luar. Mulur,
hidung dan rahang anda akan relaks. Ambil nafas panjang, pelan, dalam yang
membesarkan dan mengecilkan perut. Fokuskan pada bunyi dari pernafasan sambil
anda semakin relaks.
(10)
Lanjutkan nafas dalam selama lima atau sepuluh menit
setiap kali, satu atau dua kali sehari, selama dua minggu, kemudian, jika anda
suka, perpanjang waktunya sampai 20 menit.
(11)
Pada akhir setiap kali pernafasan dalam, gunakan waktu
sejenak untuk sekali lagi mengamati tubuh anda yang tegang. Bandingkan
ketegangan yang anda rasakan pada akhir latihan dengan yang anda alami pada
awal latihan.
(12)
Bila anda telah terbiasa dengan pernafasan perut,
lakukan setiap saat anda menginginkannya sepanjang hari saat anda duduk atau
berdiri. Konsentrasikan pada gerakan perut ke atas dan ke bawah, udara ke luar
masuk paru-paru anda, dan perasaan relaks yang dihasilkan dengan nafasa dalam.
(13)
Bila anda telah belajar merilekskan diri dengan menggunakan
nafasa dalam, lakukanlah setiap kali anda merasa tenang.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1
Desain Penelitian
Desain
penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan
pelaksanaan penelitian (Moh. Nasir, 1999 : 99). Dalam penelitian ini menggunakan
“Quasi Experimental” dimana rancangan penelitian ini untuk mencari hubungan
sebab akibat dari variabel dependen dan independen. Peneliti melakukan
intervensi sebagian dari sampel yang ada dan sebagian dari sampel yang tidak di
intervensi sebagai kelompok kontral.
3.2 Kerangka Kerja
|
|
||||||||||
|
||||||||||
Keterangan
:
: Diteliti
:
tidak diteliti
Kerangka Konsep : Studi Tentan Efektifitas Relaksasi Pernafasan
Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan
3.3 Populasi, Sampel dan
Sampling
3.3.1 Populasi
Populasi
adalah keseluruhan kelompok individu atau objek yang diminati peneliti.
Populasi ini sering mengacu pada kriteria spesifik seperti umur, jenis kelamin,
jenis penyakit (Dorothy Young, 2000 : 152).
Populasi
dalam penelitian ini adalah semua klien asthma dewasa yang di rawat di Ruang
Paru RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3.3.2
Sampel
Sampel
adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga
dianggap mewakili populasinya (Sastroasmoro dan Ismael, 1995 : 43).
Kriteria
inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat di masukkan atau yang layak
untuk di teliti.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini :
(1) Klien
bersedia untuk diteliti.
(2) Klien
asthma dewasa.
(3) Klien
dalam serangan asthma / tidak.
(4) Tidak
ada kelainan jiwa.
(5) Tidak
ada penyakit penyerta.
Kriteria ekslusi dalam penelitian ini :
(1) Klien
tidak bersedia diteliti
(2) Klien
asthma yang disertai komplikasi.
(3) Klien
anak.
3.3.3
Identifikasi Variabel
(1)
Variabel Independen
Variabel
independen adalah suatu stimulus aktivitas yang dimanipulasi oleh peneliti
untuk menciptakan suatu dampak pada dependen variabel (Nursalam dan Siti
Pariani, 2001 : 41). Variabel independen dalam penelitian ini adalah latihan relaksasi yang meliputi :
a.
Lama latihan relaksasi pernafasan
Lama latihan relaksasi pernafasan dibagi menjadi 3
bagian
1.< 3 menit per latihan
2.3 – 5 menit per latihan
3.> 5 menit per latihan
b.
Frekuensi latihan relaksasi pernafasan :
1.
1 kali sehari
2.
2 – 3 kali sehari
3.
> 3 kali sehari
c. Cara
latihan relaksasi pernafasan
1.
Kurang :
bila latihan tidak benar
2.
Cukup :
bila latihan benar dengan panduan perawat
3.
Baik :
bila latihan benar tanpa panduan perawat
(2)
Variabel Dependen
Variabel
dependen adalah variabel respon atau output yang muncul sebagai akibat dari
manipulasi suatu variabel-variabel independen (Nursalam dan Siti Pariani, 2001
: 42).
Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah kecemasan.
Kecemasan dibagi menjadi empat tingkatan :
1. Kecemasan
ringan
Kecemasan
yang ditandai dengan waspada, kesadaran meningkat, ketajaman pendengaran
bertambah, termotivasi secara positif, peningkatan tanda-tanda vital.
2. Kecemasan
sedang
Kecemasan
yang ditandai dengan individu berfokus pada dirinya, menurunnya perhatian
terhadap lingkungan, persepsi menyempit, sulit berkonsentrasi dan beradaptasi,
tremor, denyut nadi meningkat.
3. Kecemasan
berat
Kecemasan
yang ditandai dengan perubahan pola pikir, persepsi sangat menurun, terfokus
pada masalah detil, ketidakselarasan pikiran, tindakan dan perasaan, tidak
memperhatikan instruksi, tidak mampu berkonsentrasi dan menghadapi situasi saat
ini, hiperventilasi, takikardi, mual, pusing, kesulitan berkomunikasi.
4. Panik
Kecemasan
paling berat yang ditandai dengan persepsi terhadap lingkungan mengalami
distorsi, tidak mampu memahami situasi, aktivitas motorik tidak menentu,
penyimpangan persepsi, tidak dapat berfokus pada saat ini, tidak mampu
mengucapkan apa yang dipikirkan, peningkatan motorik dan respon berlebih
terhadap stimulus minor, komunikasi tidak dapat dipahami, dispnea, palpitasi,
paresthesi, berkeringat, tersedak.
3.3.4
Definisi Operasional
Definisi Opresional
mencakup hal-hal berikut ini :
(1)
Variabel Independen
a. Relaksasi
pernafasan adalah teknok relaksasi yang menurunkan ketegangan otot dengan cara
latihan pernafasan yang benar dan teratur (Stuart dan Sundeen, 1995 : 348).
Gerakan relaksasi pernafasan meliputi :
b.
Lama relaksasi pernafasan adalah jumlah waktu
pelaksanaan latihan yang dimulai dari awal gerakan sampai akhir latihan.
c.
Frekuensi senam nifas adalah jumlah latihan relaksasi
pernafasan yang dilakukan oleh klien dalam sehari
(2)
Variabel Dependen
a. Kecemasan
adalah keadaan dimana seseorang mengalami perasaan gelisah atau cemas dan
kativasi saraf otonom dalam berespon terhadap ancaman tak jelas, tak spesifik
(Carpenito, 2000 : 132)
b. Tingkat
kecemasan
1. Kecemasan ringan
2. Kecemasan sedang
3. Kecemasan
berat
Panik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar